Dr. Wendy juga mengkritik “gerakan tutup pabrik” oleh pengusaha sebagai bentuk pembangkangan terhadap pemerintah daerah.
“Alih-alih memberikan manfaat kepada petani, keputusan ini justru memperburuk situasi. Petani tidak hanya menghadapi harga yang rendah, tetapi juga kesulitan menjual hasil panen karena pabrik tutup,” tegasnya.
Krisis ini juga diperburuk oleh fakta bahwa perusahaan tapioka di Lampung melakukan impor tepung tapioka dalam jumlah besar dari Vietnam dan Thailand.
Data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan, sepanjang 2024, sebanyak 59.050 ton tepung tapioka senilai Rp 511,4 miliar diimpor oleh empat perusahaan besar di Lampung.
Pj Gubernur Lampung, Samsudin, sebelumnya telah menyurati pemerintah pusat untuk membatasi izin impor tepung tapioka.
Ia juga menegaskan larangan impor bagi perusahaan di Lampung. Namun, langkah ini justru memicu reaksi keras dari pengusaha yang menganggap kebijakan tersebut merugikan bisnis mereka.
Dr. Wendy menegaskan bahwa pemerintah daerah perlu mengambil langkah sistemik dan jangka panjang untuk menyelesaikan krisis ini.
“Harus ada evaluasi menyeluruh, mulai dari kebijakan impor, ketersediaan pupuk, hingga pengelolaan lahan.
Selain itu, penting untuk merancang program hilirisasi dan menarik investor yang mampu menampung hasil panen petani,” sarannya.
Jika langkah konkret tidak segera diambil, krisis ini akan terus berlanjut, dengan petani singkong yang semakin terpuruk di tengah ketidakpastian pasar.
Sementara itu, “gerakan tutup pabrik” oleh pengusaha menjadi ancaman nyata bagi stabilitas sektor pertanian di Lampung.
Penulis : Jurnalis
Editor : Peristiwaterkini
Halaman : 1 2