Respons itu dinilai “belum pasti” oleh Agung: “Kami butuh tanggal, bukan janji.”
Kebingungan makin besar setelah Izin Pertambangan Rakyat (IPR) tak lagi bisa diajukan atas nama kelompok.
“Dulu satu kelompok cukup satu IPR, sekarang tiap orang harus urus sendiri, biayanya berat,” ujar Widi Santosa, penambang asal Lendah.
Mereka juga mempertanyakan “perlakuan timpang” terhadap perusahaan besar.
“PT dan CV tetap pakai alat berat, kenapa kami yang lokal justru dibatasi?” tanyanya sembari mengangkat spanduk ‘Rakyat Juga Berhak Menambang!’.
Isu kerusakan lingkungan ditepis keras. “Rumah saya persis di tepi Sungai Progo, tak pernah longsor,” tegas Sutrisno, penambang senior.
“Kami pakai pompa kecil, kedalaman cuma 5–6 meter, kalau kena batu ya berhenti. Dibilang merusak, buktinya eceng gondok tetap tumbuh,” lanjutnya.
Agung menambahkan, “Lingkungan itu tempat kami tinggal; merusak berarti bunuh diri.”
Penulis : Wawan
Editor : Peristiwaterkini
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya