Menurut catatan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tradisi ini telah dilaksanakan sejak masa Sri Sultan Hamengkubuwono II sebagai bentuk upacara kenegaraan.
“Awalnya, hanya abdi dalem yang ikut serta. Kini masyarakat dan wisatawan pun diperbolehkan bergabung, asal mengikuti aturan seperti tidak berbicara dan melepas alas kaki,” ujar salah satu pengurus Kraton.
Makna dari Mubeng Beteng adalah laku tirakat dan tapa bisu, simbol keprihatinan dan usaha untuk menyucikan diri.
Prosesi ini juga terinspirasi dari hijrah Nabi Muhammad SAW, dengan harapan memperoleh keridaan Allah di awal tahun baru Jawa.
“Ini bukan perayaan pesta, tapi refleksi batin. Kita berjalan dalam diam, menyatu dengan malam dan doa,” ungkap R. Panembahan Suryaningrat, tokoh budaya Yogyakarta.

Kini, Mubeng Beteng tidak hanya menjadi ritual internal Keraton Yogyakarta, tetapi juga telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penulis : Wawan
Editor : Peristiwaterkini
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya