“Pantesan ada kasus keracunan tidak ada yang melapor ke dinas,” ujar Nunuk. Ia menilai perjanjian tersebut sengaja membuat sekolah bungkam.
“Saya marah-marah, anak-anak saya jadi kelinci percobaan,” katanya geram, menyoroti dampak serius pada kesehatan siswa.
Nunuk langsung memerintahkan seluruh koordinator wilayah pendidikan meninjau ulang isi perjanjian.
“Ini sangat merugikan sekolah. Mereka jadi tidak berani melapor karena takut melanggar perjanjian,” tandasnya.
Ia menekankan pentingnya keterbukaan informasi demi keselamatan siswa.
“Keselamatan anak jauh lebih penting daripada menjaga citra program,” tegasnya, menyerukan keberanian untuk melapor dan melindungi hak publik atas informasi.
Dibanjiri kritik, pihak Satuan Pelayanan Program Gizi (SPPG) akhirnya buka suara.
“Alhamdulillah sudah ada progres perbaikan,” klaim perwakilan SPPG, menyatakan komitmen menarik ulang surat perjanjian bermasalah. Meski demikian, publik menuntut langkah konkret.
“Kami butuh tindakan nyata, bukan janji,” desak warga setempat.
Kontroversi ini menandai titik balik penting, menegaskan bahwa program gizi seharusnya melindungi, bukan membungkam.
Penulis : Wawan
Editor : Peristiwaterkini
Halaman : 1 2

















