Warga Belanda mendapatkan kursi nyaman di bagian tengah dengan tarif lebih mahal, sedangkan warga bumiputra duduk di bangku rotan panjang di bagian belakang dengan tarif lebih murah.
Dengan sistem kelas yang membedakan tarif dan fasilitas, ESTO mencerminkan struktur sosial kolonial yang masih kuat pada saat itu.
Namun, keberadaan bus ini menjadi tonggak sejarah dalam perkembangan transportasi di Indonesia, yang kemudian menginspirasi banyak perusahaan otobus lainnya.
Seiring berjalannya waktu, sistem transportasi pun berkembang, menghapuskan segregasi sosial dan meningkatkan aksesibilitas bagi semua kalangan.
Sayangnya, setelah hampir satu abad melayani masyarakat, ESTO akhirnya harus mengakhiri perjalanannya pada tahun 2018.
Lima tahun sebelum mencapai usia 100 tahun, perusahaan otobus pertama di Indonesia ini menutup usahanya, meninggalkan warisan besar dalam sejarah transportasi nasional.
Meski telah tiada, ESTO tetap dikenang sebagai pelopor yang membuka jalan bagi industri bus antarkota yang berkembang pesat hingga saat ini.
Penulis : kurniawan
Editor : peristiwaterkini
Halaman : 1 2

















