“Menyikapi hiruk pikuk dunia politik, puisi ini menjadi pengingat untuk menjaga kestabilan jiwa dan tidak terjebak dalam nafsu duniawi yang merugikan rakyat,” ucapnya.
Dalam puisinya, Cak Nun menulis tentang keadilan yang timpang — pencuri ayam dihukum, sementara penguasa yang merugikan rakyat tetap bebas. Potongan ini dianggap sebagai bentuk satire atas situasi hukum dan politik yang masih terjadi hingga sekarang.
Solihul menegaskan pentingnya etika dalam berpolitik, dan mengajak para wakil rakyat untuk lebih berpihak kepada rakyat melalui kebijakan yang adil.
Di usia ke-72, Cak Nun tetap menjadi sosok yang menyuarakan nurani rakyat dan membangun ruang dialog spiritual lewat forum seperti Maiyah.
“Cak Nun ini menjadi corong rakyat. Dewan yang sebenarnya ya beliau ini,” ungkap Solihul.
Ia berharap Cak Nun selalu diberikan kesehatan agar terus membersamai rakyat dan menyalakan semangat berpikir kritis serta keberanian bersuara bagi generasi mendatang.
Halaman : 1 2